Jawabnya adalah TIDAK, jika menggunakan jalur pemberantasan korupsi yang biasa-biasa saja atau seperti yang ada saat ini. Kenapa? Karena mayoritas penegak hukum dan lembaga tinggi negara lainnya sudah terkontaminasi korupsi.
Kasus Gayus Tambunan, Susno Duadji, Traveling Cheque Miranda Gultom, dan masih banyak lagi kasus korupsi lainnya, baik dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah tingkat dua, sudah terang benderang menjelaskan kepada kita bahwa semua sudah terkontaminasi oleh korupsi. Semua sudah kecipratan hasil korupsi. Sehingga Indonesia tidak mungkin bisa memberantas korupsi melalui jalur atau system penegakan hukum biasa seperti yg sudah ada sekarang ini.
Kalau system penegakan hukum ini kita ibaratkan sebagai kandang macan, maka dari kandang macan itu tidak mungkin bisa melahirkan, apalagi membesarkan domba. Domba itu akan dimakan langsung oleh macan begitu dia lahir di sana.
Kalau begitu, bagaimana Indonesia bisa memberantas korupsi?
Sebelum memikirkan solusinya, kita harus ketahui dahulu penyebabnya. Sehingga pertanyaannya terlebih dahulu adalah ”Dari mana asal muasal timbulnya korupsi atau di manakah titik lemah system penegakan hukum kita ini?”
Korupsi itu ada karena adanya uang yang bisa di korupsi. Keluar masuk uang diatur melalui APBN dan APBD. Uang negara itu bisa dikorupsi sebelum dia masuk ke APBN / APBD melalui kolusi antara petugas yang mengumpulkan uang pemasukan APBN/APBD dengan pengusaha swasta maupun BUMN atau petugas yang menyalurkan bantuan luar negeri yang akan dimasukkan ke APBN / APBD. Tujuannya tentu untuk kepentingan masing-masing. Bagi pejabat pemerintah yang seharusnya mengumpulkan uang untuk disetor ke negara, tentunya untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Sedangkan bagi pengusaha, tentu untuk mengurangi beban yang harus dia bayarkan ke negara.
Korupsi juga bisa terjadi pada saat uang tersebut sudah masuk ke kas negara atau ke APBN/APBD. Korupsi dilakukan melalui pengeluaran yang tidak sesuai peruntukannya. Korupsi ini akan mulus jika pihak-pihak yang terlibat melakukan kolusi. Baik pejabat yang memegang uang, mereka yang punya otoritas mengeluarkan uang, maupun penerima atau pengguna uang itu, baik itu pengusaha maupun pejabat pemerintah dari tingkat pusat maupun daerah, bahkan sampai ke RT atau pengurus organisasi penerima anggaran.
Kenapa mereka berbuat seperti itu?
Tentu saja karena rendahnya moralitas pejabat, pengguna anggaran, maupun pengusaha yang melakukan kolusi atau kong-kalikong itu. Sekuat-kuatnya Prosedur dalam System Pengendalian Intern atau Pengawasan Melekat, kalau pejabat terkait melakukan kolusi, dan bahkan melibatkan pihak di luar system, apalagi penegak hukum dan pembuat undang-uandang juga sudah terkontaminasi, maka internal kontrol itu tidak akan berjalan. Pelaku korupsi ’berjamaah’ seperti ini memegang prinsip Tiji-Tibeh (Mati Siji Mati Kabeh – Mukti Siji Mukti Kabeh), artinya satu sengsara, semua sengsara - satu makmur, semua makmur.
Dengan banyaknya pihak yang terlibat, mereka merasa akan aman dan berharap tidak akan ada pihak yang berani atau yang mau mengusut kasus korupsi. Dan itu sudah terbukti. Nyatanya hingga saat ini kasus-kasus korupsi tidak pernah tuntas. Kalaupun ada yang dihukum, itu pun hukumannya ringan, karena dia hanya dijadikan ”tumbal” kepura-puraan seolah-olah hukum sudah ditegakkan. Tetapi, yang namanya macan tentu saja tidak akan makan sesama macan, bukan?
Apa solusinya?
Solusinya bergantung pada presiden sebagai pimpinan tertinggi di negeri ini. Sejauh mana komitmennya terhadap pemberantasan korupsi. Masalahnya adalah, mungkinkah presiden yang lahir dari system yang sudah terkontaminasi korupsi dan banyak ‘macan-macan’ yang ada di dalamnya bisa melahirkan Presiden yang Anti Korupsi?
Kalau itu ada, maka bisa dikatakan sebagai sebuah mujizat. Tetapi kalau itu tidak terjadi, maka harapan akan adanya pemberantasan korupsi bisa dibilang pupus sudah. Kita berharap mujizat itu ada. Dan, kalau itu benar, maka solusinya masih bisa dicari. Solusinya tentu adalah perlunya diciptakan system pemberantasan korupsi yang luar biasa. Extraordinary.
Bagaimana system pemberantasan korupsi yang extraordinary itu?
BERSAMBUNG...
Kasus Gayus Tambunan, Susno Duadji, Traveling Cheque Miranda Gultom, dan masih banyak lagi kasus korupsi lainnya, baik dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah tingkat dua, sudah terang benderang menjelaskan kepada kita bahwa semua sudah terkontaminasi oleh korupsi. Semua sudah kecipratan hasil korupsi. Sehingga Indonesia tidak mungkin bisa memberantas korupsi melalui jalur atau system penegakan hukum biasa seperti yg sudah ada sekarang ini.
Kalau system penegakan hukum ini kita ibaratkan sebagai kandang macan, maka dari kandang macan itu tidak mungkin bisa melahirkan, apalagi membesarkan domba. Domba itu akan dimakan langsung oleh macan begitu dia lahir di sana.
Kalau begitu, bagaimana Indonesia bisa memberantas korupsi?
Sebelum memikirkan solusinya, kita harus ketahui dahulu penyebabnya. Sehingga pertanyaannya terlebih dahulu adalah ”Dari mana asal muasal timbulnya korupsi atau di manakah titik lemah system penegakan hukum kita ini?”
Korupsi itu ada karena adanya uang yang bisa di korupsi. Keluar masuk uang diatur melalui APBN dan APBD. Uang negara itu bisa dikorupsi sebelum dia masuk ke APBN / APBD melalui kolusi antara petugas yang mengumpulkan uang pemasukan APBN/APBD dengan pengusaha swasta maupun BUMN atau petugas yang menyalurkan bantuan luar negeri yang akan dimasukkan ke APBN / APBD. Tujuannya tentu untuk kepentingan masing-masing. Bagi pejabat pemerintah yang seharusnya mengumpulkan uang untuk disetor ke negara, tentunya untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Sedangkan bagi pengusaha, tentu untuk mengurangi beban yang harus dia bayarkan ke negara.
Korupsi juga bisa terjadi pada saat uang tersebut sudah masuk ke kas negara atau ke APBN/APBD. Korupsi dilakukan melalui pengeluaran yang tidak sesuai peruntukannya. Korupsi ini akan mulus jika pihak-pihak yang terlibat melakukan kolusi. Baik pejabat yang memegang uang, mereka yang punya otoritas mengeluarkan uang, maupun penerima atau pengguna uang itu, baik itu pengusaha maupun pejabat pemerintah dari tingkat pusat maupun daerah, bahkan sampai ke RT atau pengurus organisasi penerima anggaran.
Kenapa mereka berbuat seperti itu?
Tentu saja karena rendahnya moralitas pejabat, pengguna anggaran, maupun pengusaha yang melakukan kolusi atau kong-kalikong itu. Sekuat-kuatnya Prosedur dalam System Pengendalian Intern atau Pengawasan Melekat, kalau pejabat terkait melakukan kolusi, dan bahkan melibatkan pihak di luar system, apalagi penegak hukum dan pembuat undang-uandang juga sudah terkontaminasi, maka internal kontrol itu tidak akan berjalan. Pelaku korupsi ’berjamaah’ seperti ini memegang prinsip Tiji-Tibeh (Mati Siji Mati Kabeh – Mukti Siji Mukti Kabeh), artinya satu sengsara, semua sengsara - satu makmur, semua makmur.
Dengan banyaknya pihak yang terlibat, mereka merasa akan aman dan berharap tidak akan ada pihak yang berani atau yang mau mengusut kasus korupsi. Dan itu sudah terbukti. Nyatanya hingga saat ini kasus-kasus korupsi tidak pernah tuntas. Kalaupun ada yang dihukum, itu pun hukumannya ringan, karena dia hanya dijadikan ”tumbal” kepura-puraan seolah-olah hukum sudah ditegakkan. Tetapi, yang namanya macan tentu saja tidak akan makan sesama macan, bukan?
Apa solusinya?
Solusinya bergantung pada presiden sebagai pimpinan tertinggi di negeri ini. Sejauh mana komitmennya terhadap pemberantasan korupsi. Masalahnya adalah, mungkinkah presiden yang lahir dari system yang sudah terkontaminasi korupsi dan banyak ‘macan-macan’ yang ada di dalamnya bisa melahirkan Presiden yang Anti Korupsi?
Kalau itu ada, maka bisa dikatakan sebagai sebuah mujizat. Tetapi kalau itu tidak terjadi, maka harapan akan adanya pemberantasan korupsi bisa dibilang pupus sudah. Kita berharap mujizat itu ada. Dan, kalau itu benar, maka solusinya masih bisa dicari. Solusinya tentu adalah perlunya diciptakan system pemberantasan korupsi yang luar biasa. Extraordinary.
Bagaimana system pemberantasan korupsi yang extraordinary itu?
BERSAMBUNG...